Selasa, 03 Desember 2013

Nasib CDMA di Indonesia



2014 mungkin menjadi tahun dimana perusahaan telekomunikasi mobile berbasis CDMA 1 di Indonesia akhirnya mati. Meningkatnya popularitas – serta persaingan harga – layanan GSM di negara ini menjadi berita buruk bagi operator CDMA seperti Smartfren, Esia, dan Flexi. Bahkan, kita mungkin akan melihat beberapa layanan CDMA tersebut akan mati paling cepat awal tahun ini.
Berikut adalah rincian operator CDMA terbesar di Indonesia:

Smartfren

Smartfren bisa dibilang adalah perusahaan telekomunikasi CDMA terkuat dalam hal pertumbuhan pelanggan di Indonesia. Perusahaan ini telah meningkatkan jumlah penggunanya dari 6,7 juta pada bulan Oktober 2011 menjadi 12,5 juta di tahun ini. Program bundling handset Android-nya yang menarik mungkin menjadi alasan utama pertumbuhan tersebut.
Tapi dalam hal keuangan, Smartfren berada dalam kesulitan besar dengan mengalami kerugian sebesar Rp 1,54 triliun pada kuartal ketiga tahun ini. Kerugian tersebut 52 persen lebih besar dari kerugian pada periode yang sama di tahun lalu (Rp 1,01 triliun).
Perusahaan ini masih terlihat kuat dengan menantikan era 4G dimana ia bisa bermigrasi ke frekuensi LTE. Smartfren juga masih terus membangun menara BTS-nya.

Esia

Esia milik Bakrie Telecom terlihat sangat membutuhkan sebuah revolusi. Perusahaan yang memiliki 14,6 juta pelanggan pada tahun 2011 ini, sekarang hanya melayani 11,6 juta pengguna yang tampaknya akan terus menurun dari tahun ke tahun.
Keuangannya juga tidak terlihat baik dengan mengalami kerugian sebesar Rp 1,5 triliun pada kuartal ketiga tahun ini. Hutang perusahaan ini diturunkan menjadi default setelah gagal membayar.

Telkom Flexi

Flexi tampaknya juga tidak akan bertahan untuk tahun depan. Meski perusahaan ini memiliki 18 juta pelanggan di Indonesia, perusahaan induknya, Telkom, telah mengisyaratkan niatnya untuk menutup Flexi karena tidak lagi menjadi bisnis yang menguntungkan. Telkom kini ingin menjual 4.000 menara seluler Flexi kepada pihak yang berminat.
Perusahaan telekomunikasi lain, Indosat, juga telah mengisyaratkan niatnya untuk menutup StarOne, layanan CDMA milik Indosat, awal tahun ini.

Kutukan CDMA?

Hilangnya kepercayaan terhadap CDMA juga diutarakan oleh produsen handphone dan penyedia peralatan jaringan di negara yang telah beralih fokus dari CDMA ke GSM ini. Salah satu distributor handset terbesar, Erajaya, sekarang tidak lagi menjual perangkat CDMA di 500 tokonya. Penyedia peralatan jaringan besar juga tidak lagi menyediakan menara BTS CDMA.
Kenapa ini bisa terjadi? Alasan terbesarnya – dan yang paling jelas – adalah kelebihan CDMA dibandingkan GSM sudah tidak ada lagi.
Dulu, meski jangkauan sinyalnya buruk, perusahaan telekomunikasi CDMA memiliki tarif yang lebih murah. Tapi setelah perang harga yang sengit melawan operator GSM, perbedaan tarif antara CDMA dan GSM menjadi tidak terlalu signifikan.
Di sisi CDMA, Smartfren memberlakukan tarif sebesar Rp 18 per detik untuk panggilan ke operator lain, Esia dengan tarif sebesar Rp 800 per menit, dan Flexi dengan tarif sebesar Rp 800 per 30 detik. Sementara untuk operator GSM terbesar, Telkomsel memberlakukan tarif sebesar Rp 20 per detik, XL dengan tarif sebesar Rp 1.000 per menit, dan Indosat sebesar Rp 350 per 30 detik. Tidak ada banyak perbedaan harga sekarang.
Hal yang sama berlaku untuk tarif lain seperti biaya panggilan antar operator.
Jika kondisinya sudah seperti ini, Anda mungkin melakukan hal yang salah jika tetap menggunakan CDMA – atau membeli handphone CDMA baru.

  1. Tentu saja ada perbedaan teknologi antara GSM dan CDMA, misalnya, betapa mudahnya mengganti handphone jika menggunakan GSM.

0 komentar: